Jumat, 07 September 2018

16 Indikator Ekonomi Penting

Penting bagi kita sebagai pelaku pasar untuk mengetahui indikator ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, agar bisa mengambil keputusan yang tepat dalam trading.
Para pakar dan analis selalu membicarakan arah perekonomian berdasarkan pembacaan atas indikator - indikator ekonomi penting, dan itu memang pekerjaan mereka. Namun, seperti yang Anda ketahui, sering kali prediksi mereka salah.

Sebagai contoh, kepala The Fed Ben Bernanke pada tahun 2007 pernah memprediksikan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengalami resesi. Saat itu ia mengatakan bahwa pasar saham dan perumahan sangat menjanjikan. Tetapi, perkiraan Bernanke tersebut ternyata keliru.

Karena prediksi para pakar tidak selalu benar, maka penting bagi kita sebagai pelaku pasar untuk mengerti dan memperhatikan perkembangan ekonomi dan faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya. Sehingga, kita bisa mengambil keputusan yang tepat dalam investasi jangka panjang maupun trading forex.

#Indikator Ekonomi Penting

Secara umum, indikator ekonomi penting yang perlu kita ketahui, dapat dibagi dua:

#1.Indikator-indikator leading (leading indicators) yaitu indikator yang akan berubah mendahului keadaan sebenarnya, dan indikator leading ini digunakan untuk memprediksikan trend pada waktu yang akan datang.


#2.Indikator-indikator lagging (lagging indicators) yaitu indikator yang berubah setelah trend terbentuk. Meski tidak menunjukkan arah pergerakan ekonomi, indikator lagging mengkonfirmasi perubahan yang telah terjadi, dan mengindikasikan perubahan kondisi ekonomi dalam jangka panjang.

#Indikator Ekonomi Penting Bersifat Leading
Karena indikator leading sangat potensial untuk memprediksikan arah perekonomian, maka penentu kebijakan fiskal (pemerintah) dan moneter (bank sentral) menggunakannya sebagai acuan dalam mengatur kebijakannya untuk menghindari resesi atau dampak negatif lain dalam perekonomian. Indikator ekonomi penting bersifat leading yang sering diperhatikan ada tujuh jenis.

#1. Pasar Saham.
Meski pasar saham bukan indikator yang paling penting, tetapi indeks harga saham adalah yang pertama kali dilihat pelaku pasar untuk mengetahui perkembangan ekonomi saat ini. Harga saham mencerminkan harapan perolehan badan-badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta sebagai salah satu pelaku yang memegang kendali arah perekonomian.

Jika harga-harga saham (terutama saham blue-chips) naik, maka pendapatan pelaku ekonomi akan meningkat sehingga secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan naik. Sebaliknya, jika pendapatan perusahaan merosot terus menerus, maka dalam jangka waktu tertentu diperkirakan akan terjadi resesi.
Namun demikian, kita tidak bisa hanya mengandalkan pada indikator pasar saham. Mengapa? Karena ada dua hal:

Perkiraan pendapatan sebuah perusahaan bisa saja meleset.
Harga saham cenderung rawan untuk dimanipulasi. Istilah yang sering kita dengar adalah "digoreng". Hal ini tidak hanya terjadi di bursa saham negara-negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Di bursa Wall Street (AS) pernah terjadi "window dressing" (semacam manipulasi terhadap kinerja perusahaan) terhadap sejumlah saham blue-chip, hingga volume perdagangan saham tersebut meningkat dengan pesat. Dalam hal ini, jelas harga saham yang dimanipulasi tersebut tidak mencerminkan kekuatan harga yang sebenarnya (strength of value).

Selain itu, harga-harga saham cenderung untuk menggelembung (bubbles). Kondisi bubble biasanya mengindikasikan sedang terjadi penggorengan saham besar-besaran, atau mencerminkan kelatahan para pelaku pasar untuk cenderung membeli saham-saham yang harganya sedang meningkat, tanpa mempedulikan faktor pendukung dari indikator ekonomi lainnya. Keadaan ini akan sangat rentan dengan koreksi yang pada akhirnya bisa menyebabkan crash di pasar saham, seperti yang terjadi tahun 1929-1930 (The Great Depression). Terakhir kali kita tahu hal semacam ini terjadi pada tahun 2008, meski tidak separah tahun 1929-1930.

#2. Aktivitas Manufaktur.
Indikator ekonomi penting ini akan mempengaruhi pertumbuhan atau GDP (Gross Domestic Product). Aktivitas manufaktur yang meningkat akan menunjukkan naiknya permintaan, yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian.

Selain itu, aktivitas manufaktur yang meningkat dengan pesat menandakan ekspansi ekonomi, mengakibatkan bertambahnya tenaga kerja, dan meningkatnya pendapatan masyarakat.

Permintaan produk manufaktur tidak hanya dari dalam negeri, melainkan juga dari negara partner dagang. Oleh karena itu, aktivitas manufaktur yang meningkat juga bisa mempengaruhi volume ekspor negara tersebut, serta pada akhirnya berdampak pada neraca perdagangan. Seperti diketahui, neraca perdagangan yang surplus akan cenderung memperkuat nilai mata uang negara tersebut.

#3. Level Persediaan Barang (Inventory Level).

Persediaan barang yang meningkat menunjukkan dua kemungkinan:
1. Naiknya permintaan hingga wholesaler atau distributor harus menambah persediaan barang.
2. Merosotnya permintaan hingga persediaan menumpuk akibat bertambahnya pasokan dari pabrik, sementara permintaan dari retailer berkurang.

Pada kemungkinan pertama, persediaan sengaja ditambah untuk mengantisipasi permintaan yang meningkat. Jika sesuai dengan perkiraan, maka level persediaan barang yang tinggi akan meningkatkan keuntungan distributor dan produsen, sehingga berdampak positif pada perekonomian. Sebaliknya, bila kemungkinan kedua yang terjadi, maka pasokan melebihi permintaan. Selain menyebabkan turunnya harga barang, biaya penyimpanan dan operasional bisa merugikan distributor dan produsen.

Kedua kemungkinan tersebut juga bisa diketahui dari perubahan indikator penjualan ritel (Retail Sales) dan indeks kepercayaan konsumen. Sehingga, laporan level persediaan jarang diperhatikan. Para pelaku lebih cenderung mengamati penjualan retail. Namun, data level persediaan barang sangat berarti bagi produsen dan tak kalah penting dari data penjualan ritel.

#4. Penjualan Retail (Retail Sales).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, indikator ekonomi penting ini sangat berhubungan dengan level persediaan barang dan aktivitas manufaktur. Barang-barang retail berhubungan langsung ke konsumen dan sangat berdampak pada tingkat inflasi. Untuk memilah kategori barang manufaktur yang mempengaruhi inflasi, indikator ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
penjualan retail inti (Core Retail Sales) yang tidak memperhitungkan penjualan otomotif, dan
penjualan retail total (Retail Sales).
Para analis sering menyimpulkan bahwa peningkatan data penjualan retail akan ikut menyumbang kenaikan GDP, yang pada akhirnya akan memperkuat nilai tukar mata uang. Namun, data ini tetap ada kekurangannya.

Kekurangan dari data Penjualan Retail antara lain adalah tidak menyebutkan bagaimana konsumen membeli barang-barang tersebut, misalnya apakah konsumen mendapatkan barang tersebut dengan berhutang atau dengan dana yang diperoleh dari pinjaman. Jika sebagian besar konsumen membayar dengan kredit, atau dengan uang hasil pinjaman, maka potensi kredit macet bisa saja terjadi dan menimbulkan masalah ekonomi lainnya. Namun demikian, pada umumnya meningkatnya data penjualan retail akan berdampak positif pada perekonomian.

#5. Building Permits (Ijin Pendirian Bangunan).
Building Permits atau ijin pekerjaan konstruksi dan pembangunan perumahan baru menunjukkan prediksi ketersediaan bangunan atau real estate untuk waktu yang akan datang. Bertambahnya jumlah Building Permits mengindikasikan tumbuhnya industri konstruksi yang tentunya akan diikuti oleh pertambahan kebutuhan tenaga kerja dan meningkatnya pendapatan perusahaan konstruksi dan perumahan, yang juga akan menyumbang kenaikan angka GDP.

Namun demikian, seperti halnya level persediaan barang (inventory level); jika makin banyak rumah baru yang dibangun hingga melebihi kebutuhan konsumen, maka level pasokan rumah akan lebih besar dari permintaan pasar. Surplus dapat mengakibatkan merosotnya harga. Pada gilirannya, tidak hanya perumahan baru yang harganya merosot, melainkan juga perumahan atau bangunan yang sudah eksis.

#6. Pasar Perumahan (Housing Market).
Turunnya harga perumahan adalah koreksi dari inflasi pasar perumahan, akibat penggelembungan harga (bubble). Jika pasar perumahan sedang lesu, maka akan berdampak negatif pada perekonomian karena:

Kekayaan pemilik rumah akan berkurang akibat merosotnya harga.
Tenaga kerja di bidang konstruksi dan pemasaran rumah atau bangunan akan berkurang, dan meyebabkan bertambahnya angka pengangguran.

Pendapatan pemerintah dari pajak perumahan dan bangunan akan berkurang, dan hal ini akan berdampak pada kondisi fiskal pemerintah.
Sebaliknya, inflasi pasar perumahan yang sangat tinggi bisa membahayakan perekonomian, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2007 silam. Housing bubble sering disebut-sebut sebagai biang kerok resesi yang terjadi di AS saat itu. Oleh karena itu, pelaku pasar biasanya mengamati bermacam-macam data perumahan sekaligus di setiap periode.

7. Jumlah Bisnis Baru (New Businesses Startups).
Biasanya, yang dimaksud dengan New Business Startups adalah tumbuhnya bisnis-bisnis baru skala kecil dan menengah, termasuk home industries dan sektor informal. Jenis bisnis semacam ini selalu tumbuh silih berganti seiring dengan pendapatan masyarakat.

Dari survey yang pernah dilakukan, jumlah perekrutan tenaga kerja pada sektor ini dalam suatu periode tertentu lebih besar dari perusahaan yang lebih besar, sehingga ikut memberi kontribusi dalam mengurangi tingkat pengangguran.

Di negara-negara sedang berkembang, bisnis skala kecil dan menengah memberikan kontribusi yang signifikan pada Gross Domestic Product (GDP). Ide, inovasi dan produk yang dihasilkan bisa meningkatkan volume perdagangan. Bahkan di negara maju seperti Jepang, pemerintahnya sangat memperhatikan perkembangan bisnis baru skala kecil dan menengah yang sedang tumbuh.

Indikator Ekonomi Penting Bersifat Lagging
Tidak seperti indikator leading, indikator lagging baru dilaporkan setelah terjadi perubahan keadaan ekonomi. Indikator lagging mengkonfirmasi perubahan ekonomi dan membantu identifikasi trend perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Indikator ekonomi penting bersifat lagging ada sembilan jenis.

#Indikator Ekonomi Penting Bersifat Lagging

#1. Perubahan Gross Domestic Product (GDP).
Biasanya, Gross Domestic Product (GDP) digunakan oleh ekonom dan analis untuk mengetahui ukuran perekonomian suatu negara, sedang tumbuh atau sedang mengalami kontraksi (perlambatan). Jika pertumbuhan GDP meningkat, maka perekonomian cenderung kuat. Demikian pula sebaliknya, jika GDP menurun, maka perekonomian cenderung lesu.
Namun, indikator ini juga ada kekurangannya. Seperti halnya indikator pasar saham yang kadang tidak menunjukkan kekuatan harga saham yang sebenarnya, GDP juga bisa demikian. Seperti misalnya program quantitative easing (QE) dan pengeluaran pemerintah yang berlebihan (stimulus fiskal). Kenaikan GDP akibat stimulus, sebenarnya adalah kenaikan semu yang memang dilakukan pemerintah guna mengoreksi kemerosotan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai indikator lagging, GDP menunjukkan kondisi yang telah terjadi, bukan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Ekonom dan analis melihat keadaan booming atau resesi berdasarkan angka GDP dari kwartal ke kwartal. Umumnya, jika GDP akhir per kwartal telah turun 2 kali berturut-turut, maka bisa dianggap perekonomian sedang menuju ke keadaan resesi.

#9. Pendapatan Dan Upah.
Jika ekonomi berjalan dengan efisien, tingkat pendapatan seharusnya meningkat dengan teratur tiap periode tertentu untuk menyesuaikan dengan tingkat inflasi yang terjadi. Bagi negara-negara maju yang mengukur tingkat upah dengan jumlah jam kerja, maka pendapatan yang menurun menunjukkan jumlah jam kerja yang berkurang atau tingkat upah yang memang diturunkan. Pendapatan yang berkurang juga bisa disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kehilangan pekerjaan akibat perusahaan yang kolaps.

Baik turunnya pendapatan maupun berkurangnya upah, keduanya merefleksikan kondisi ekonomi yang sedang suram. Di negara industri, tingkat pendapatan dan upah disurvey dan dirinci sesuai dengan gender, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan, guna mengetahui trend di setiap kelompok.

#10. Tingkat Pengangguran (Unemployment Rate).
Indikator ini sangat penting dan dijadikan acuan pemerintah di banyak negara dalam menilai kondisi ekonomi. Tingkat pengangguran mengukur persentasi jumlah tenaga kerja yang sedang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Dalam kondisi perekonomian yang normal, ekonom dan analis mematok angka pengangguran antara 3% hingga 5%.

Jika tingkat pengangguran tinggi, maka pengeluaran konsumen juga akan berkurang yang akan menyebabkan berkurangnya penjualan retail, perumahan, dan lain-lain, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada GDP. Pengeluaran pemerintah juga akan membengkak akibat kompensasi klaim pengangguran dan program-program lain untuk kesejahteraan masyarakat (ini hanya berlaku di negara-negara maju yang menyediakan layanan tersebut).
Kekurangannya, indikator ini hanya mengukur jumlah penganggur (atau pencari kerja) dalam periode waktu sebulan, dan sering kali mereka yang mendapatkan pekerjaan paruh waktu (part-time) dianggap telah bekerja penuh. Namun terlepas dari kekurangan tersebut, indikator Tingkat Pengangguran masih dianggap penting.

#11. Tingkat Inflasi.
Tingkat inflasi menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat konsumen maupun tingkat produsen dalam suatu periode tertentu. Ada beberapa jenis indikator tingkat inflasi. Indikator tingkat inflasi utama yang banyak digunakan adalah Consumer Price Index (CPI). Sedangkan data tentang inflasi di tingkat produsen disebut PPI (Producer Price Index).

CPI diperhitungkan dengan mengukur perubahan harga barang dan jasa termasuk makanan dan minuman, sarana transportasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Perubahan harga dihitung berdasarkan kenaikan rata-rata kelompok-kelompok barang dan jasa tersebut dalam suatu periode waktu tertentu. Jadi, naik atau turunnya harga satu jenis barang saja tidak menunjukkan adanya inflasi.

Tingkat inflasi yang tinggi berarti kenaikan harga-harga lebih cepat menggerogoti nilai uang, dibanding kecepatan naiknya pendapatan konsumen, terutama bagi mereka yang berpenghasilan tetap. Dengan demikian, daya beli konsumen akan menurun, sehingga standar kehidupannya juga merosot. Tingkat inflasi yang tinggi akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya, seperti menurunnya jumlah tenaga kerja dan GDP.Namun demikian, tingkat inflasi yang normal (tidak terlalu tinggi) cenderung berdampak positif.

Sebaliknya, keadaan deflasi atau penurunan harga, justru bisa berdampak negatif pada perekonomian. Deflasi yang terjadi terus-menerus bisa menyebabkan resesi. Deflasi timbul bila konsumen cenderung untuk mengurangi pengeluarannya. Ini terjadi bersamaan dengan berkurangnya jumlah uang beredar.

Dalam kondisi deflasi, perusahaan-perusahaan cenderung untuk menurunkan harga jual karena persediaan yang melebihi permintaan. Namun, keuntungannya jadi berkurang, sehingga tidak mampu membayar hutang dan mengurangi karyawan. Tentu saja, hal ini akan berdampak negatif pada ekonomi.
#12. Nilai Tukar Mata Uang.
Nilai tukar mata uang yang kuat akan meningkatkan daya jual dan daya beli sebuah negara terhadap negara lainnya. Negara dengan mata uang yang lebih kuat akan bisa mengimpor produk-produk dari negara lain dengan harga yang lebih murah. Sebaliknya, jika mata uang suatu negara melemah, maka permintaan akan produk-produk negara tersebut akan meningkat karena harganya menjadi lebih murah bagi negara lain.

#13. Tingkat Suku Bunga.
Suku bunga umumnya terdiri atas suku bunga pinjaman dan deposito. Jika tingkat suku bunga meningkat, maka nilai mata uang biasanya cenderung untuk menguat.

Penentuan suku bunga didasarkan pada suku bunga acuan yang ditentukan oleh bank sentral. Sedangkan bank sentral akan menggunakan suku bunga sebagai instrumen untuk membantu mencapai target inflasi tertentu yang diharapkan (tidak terlalu rendah, juga tidak terlalu tinggi). Apabila inflasi sudah terlalu tinggi, maka bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan untuk mengurangi peredaran jumlah uang. Sebaliknya, jika terjadi deflasi atau penurunan laju inflasi, maka bank sentral akan cenderung untuk menurunkan suku bunga acuan.

#14. Corporate Profits (Laba Perusahaan).
Corporate Profits atau keuntungan dari perusahaan-perusahaan besar akan berdampak pada GDP. Jika keuntungan meningkat, maka GDP akan cenderung naik. Harga-harga saham  juga akan meningkat karena investor juga menginvestasikan keuntungan di pasar saham.

#15. Neraca Perdagangan.
Neraca perdagangan adalah selisih total nilai ekspor dan impor. Jika terjadi surplus, berarti ada aliran dana yang masuk. Sedangkan jika terjadi defisit, berarti lebih banyak uang yang keluar dari negara tersebut. Neraca perdagangan yang surplus lebih diinginkan, dan biasanya memperkuat nilai tukar mata uang (kurs).

#16. Harga Komoditi (dalam US Dollar).
Komoditi seringkali berkontribusi besar bagi perekonomian suatu negara. Bagi negara pengekspor, kenaikan harga komoditi akan mendorong GDP meninggi dan perekonomian berkembang. Sedangkan bagi negara pengimpor, kenaikan harga komoditi merepresentasikan meningkatnya biaya-biaya dalam perekonomian.

Karena perdagangan komoditi antar negara umumnya menggunakan mata uang US Dollar, maka yang termasuk indikator ekonomi penting adalah harga komoditi dalam US Dollar di pasar internasional, bukan harga jenis-jenis komoditi di pasar lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar